MENGENAL CERITA SEJARAH /NOVEL SEJARAH
A. Pengertian Novel Sejarah
Membaca novel (termasuk novel sejarah) dapat dilakukan dengan cepat. Perlu diusahakan agar membaca novel selesai dalam satu kurun waktu tertentu. Misalnya, satu jam selesai sebagai tahap pengenalan dengan membaca cepat. Perlu ditumbuhkan kesadaran terhadap diri sendiri bahwa membaca pada mulanya berat, tetapi jika sudah terbiasa akan menjadi ringan. Orang-orang yang sudah terbiasa membaca akan dengan mudah membaca novel dengan cepat.
Novel sejarah merupakan sebuah genre yang penting dan sering ditulis di negara-negara Barat. Negara-negara tersebut menanamkan pentingnya sejarah dalam pendidikan. Novel sejarah membantu memperkenalkan dan mengakrabkan suatu masyarakat pada masa lalu bangsanya. Dengan demikian, pendidikan dalam novel dapat menanamkan akar pada bangsanya
Novel sejarah adalah novel yang di dalamnya menjelaskan dan menceritakan tentang fakta kejadian masa lalu yang menjadi asal-muasal atau latar belakang terjadinya sesuatu yang memiliki nilai kesejarahan, bisa bersifat naratif atau deskriptif, dan disajikan dengan daya khayal pengetahuan yang luas dari pengarang.
Novel sejarah dapat dikategorikan sebagai novel ulang (rekon). Supaya tidak terjadi kesalahpahaman atas frasa “novel ulang”, berikut ini penjelasan tentang jenis-jenis novel ulang. Berdasarkan jenisnya, novel ulang terdiri atas tiga jenis, yakni rekon pribadi, rekon faktual, dan rekon imajinatif.
1. Rekon pribadi adalah novel yang memuat kejadian dan penulisnya terlibat secara langsung.
2. Rekon faktual (informasional) adalah novel yang memuat kejadian faktual seperti eksperimen ilmiah, laporan polisi, dan lain-lain.
3. Rekon imajinatif adalah novel yang memuat kisah faktual yang dikhayalkan dan diceritakan secara lebih rinci.
Jadi, kesimpulannya adalah novel sejarah tergolong ke dalam rekon imajinatif. Artinya, novel tersebut didasarkan atas fakta-fakta sejarah yang kemudian dikisahkan kembali dengan sudut pandang lain yang tidak muncul dalam fakta sejarah. Misalnya, kegemaran, emosi, dan keluarga.
B. Struktur Teks Cerita/Novel Sejarah
1. Pengenalan situasi cerita (eksposition, orientasi)
Dalam bagian ini, pengarang memperkenalkan latar cerita baik waktu, tempat maupun peristiwa. Selain itu, orientasi juga dapat disajikan dengan mengenalkan para tokoh, menata adegan, dan hubungan antartokoh.
2. Pengungkapan peristiwa
Dalam bagian ini disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya.
3. Menuju konflik (rising action)
Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh
4. Puncak konflik (turning point, komplikasi)
Bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada bagian ini pula, ditentukannya perubahan nasib beberapa tokohnya. Misalnya, apakah dia kemudian berhasil menyelesaikan masalahnya atau gagal.
5. Penyelesaian (Evaluasi, resolusi)
Sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan ataupun penilaian tentang sikap ataupun nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Pada bagian ini pun sering pula dinyatakan wujud akhir dari kondisi ataupun nasib akhir yang dialami tokoh Utama.
6. Koda
Bagian ini berupa komentar terhadap keseluruhan isi cerita, yang fungsinya sebagai penutup. Komentar yang dimaksud bisa disampaikan langsung oleh pengarang atau dengan mewakilkannya pada seorang tokoh. Hanya saja tidak setiap novel memiliki koda, bahkan novel-novel modern lebih banyak menyerahkan kesimpulan akhir ceritanya itu kepada para pembacanya. Mereka dibiarkan menebak-nebak sendiri penyelesaian ceritanya.
C. Ciri Kebahasaan Novel Sejarah
Beberapa ciri kebahasaan novel sejarah adalah sebagai berikut
1. Menggunakan banyak kalimat bermakna lampau
Contoh: Prajurit-prajurit yang telah diperintahkan membersihkan gedung bekas asrama telah menyelesaikan tugasnya.
2. Banyak menggunakan kata yang menyatakan urutan waktu (konjungsi kronologis, temporal), seperti: sejak saat itu, setelah itu, mula-mula, kemudian.
Contoh: Setelah juara gulat itu pergi, Sang Adipati bangkit dan berjalan tenang-tenang masuk ke Kadipaten.
3. Banyak menggunakan kata kerja yang menggambarkan suatu tindakan (kata kerja material).
Contoh:
a. Di depan Ratu Biksuni Gayatri yang berdiri, Sri Gitarja duduk bersimpuh.
b. Ketika para Ibu Ratu menangis yang menulari siapa pun untuk menangis, Dyah Wiyat sama sekali tidak menitikkan air mata.
4. Banyak menggunakan kata kerja yang menunjukkan kalimat tak langsung sebagai cara menceritakan tuturan seorang tokoh oleh pengarang. Misalnya, mengatakan bahwa, menceritakan tentang, menurut, menggungkapkan, menanyakan, menyatakan, menuturkan.
Contoh:
a. Menurut Sang patih, Galeng telah periksa seluruh kamar Syahbandar dan ia telah melihat banyak botol dan benda-benda yang ia tak tahu nama dan gunanya.
b. Riung Samudera menyatakan bahwa ia masih bingung dengan semua penjelasan kendit Galih tentang masalah itu.
5. Banyak menggunakan kata kerja yang menyatakan sesuatu yang dipikirkan atau dirasakan oleh tokoh (kata kerja mental). Misalnya, merasakan, mengingikan, mengharapkan, mendambakan, menganggap.
Contoh:
a. Gajah Mada sependapat dengan Jalan pikiran Senopati Gajah Enggon.
b. Melihat itu, tak seorang pun yang menolak karena semua berpikir Patih Gajah Mada memang mampu dan layak berada di tempat
6. Menggunakan banyak dialog. Hal ini ditunjukkan oleh tanda petik ganda (‘..”) dan kata kerja yang menunjukkan tuturan langsung.
Contoh:
“Mana surat itu?”
“Ampun, Gusti Adipati, Patik takut maka Patik bakar.”
7. Menggunakan kata-kata sifat (descriptive language) untuk menggambarkan tokoh, tempat, atau suasana
Contoh
Dari apa yang terjadi itu terlihat betapa besar wibawa Gajah Mada, bahkan beberapa prajurit harus mengakui wibawa yang dimiliki Gajah Mada jauh lebih besar dari wibawa Jayanegara. Sri Jayanegara masih bisa diajak bercanda, tetapi tidak dengan Patih Gajah Mada, sang pemilik wajah yang amat beku itu.
Selain menggunakan bahasa dengan kaidah kebahasaan seperti diuraikan di atas, novel sejarah juga banyak menggunakan kata atau frasa yang bermakna kias. Kata atau frasa bermakna kias ini digunakan penulis untuk membangkitkan imajinasi pembaca saat membacanya serta memperindah cerita. Perhatikan contoh kutipan berikut ini.
1. Di antara para Ibu Ratu yang terpukul hatinya, hanya Ibu Ratu Rajapatni
Biksuni Gayatri yang bisa berpikir sangat tenang.
Terpukul hatinya = sangat sedih.
2. Mampukah Cakradara menjadi tulang punggung mendampingi istrinya
menyelenggarakan pemerintahan?
Tulang punggung = sandaran, sumber kekuatan
3. Di sebelahnya, Gajah Mada membeku.
Membeku = diam saja.
D. Nilai-Nilai dalam Novel sejarah
Karya sastra yang baik, termasuk novel sejarah, selalu mengandung nilai (value). Nilai tersebut dikemas secara implisit dalam alur, latar, tokoh, dan tema. Nilai yang terkandung dalam novel antara lain nilai-nilai budaya, nilai moral, nilai agama, nilai sosial, dan nilai estetis.
1. Nilai budaya adalah nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan.
Contoh: Dan bila orang mendarat dari pelayaran, entah dari jauh entahlah dekat, ia akan berhenti di satu tempat beberapa puluh langkah dari dermaga. Ia akan mengangkat sembah di hadapannya berdiri Sela Baginda, sebuah tugu batu berpahat dengan prasasti peninggalan Sri Airlangga. Bila ia meneruskan langkahnya, semua saja jalanan besar yang dilaluinya, jalanan ekonomi sekaligus militer. Ia akan selalu berpapasan dengan pribumi yang berjalan tenang tanpa gegas, sekalipun di bawah matari terik.
Sumber: Pramoedya Ananta Toer, Mangir, Jakarta, KPG, 2000
Nilai budaya dalam kutipan di atas adalah nilai budaya Timur yang mengajarkan hidup tenang, tidak terburu-buru, segala sesuatunya harus dihubungkan dengan alam.
2. Nilai moral/etik adalah nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika atau moral.
Contoh:
”Juga Sang Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta tidak bebas dari ketentuan Maha Dewa. Sang Hyang Widhi merestui barang siapa punya kebenaran dalam hatinya. Jangan kuatir. Kepala desa! Kurang tepat jawabanku, kiranya? Ketakutan selalu jadi bagian mereka yang tak berani mendirikan keadilan. Kejahatan selalu jadi bagian mereka yang mengingkari kebenaran maka melanggar keadilan. Dua-duanya busuk, dua-duanya sumber keonaran di atas bumi ini…,” dan ia teruskan wejangannya tentang kebenaran dan keadilan dan kedudukannya di tengah-tengah kehidupan manusia dan para dewa.
Sumber: Pramoedya Ananta Toer, Mangir, Jakarta, KPG, 2000
Nilai moral dalam kutipan di atas adalah ketakutan membela kebenaran sama buruknya dengan kejahatan karena sama-sama melanggar keadilan.
3. Nilai agama yaitu nilai-nilai dalam cerita yang berkaitan atau bersumber pada nilai-nilai agama.
Contoh:
Kala itu tahun 1309. Segenap rakyat berkumpul di alun-alun. Semua berdoa, apa pun warna agamanya, apakah Siwa, Buddha, maupun Hindu.
Semua arah perhatian ditujukan dalam satu pandang, ke Purawaktra yang tidak dijaga terlampau ketat. Segenap prajurit bersikap sangat ramah kepada siapa pun karena memang demikian sikap keseharian mereka. Lebih dari itu, segenap prajurit merasakan gejolak yang sama, oleh duka mendalam atas gering yang diderita Kertarajasa Jayawardhana
Sumber: Gajahmada: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara, Langit Kresna Hariadi
Nilai agama dalam kutipan tersebut tampak pada aktivitas rakyat dari berbagai agama mendoakan Kertarajasa Jayawardhana yang sedang sakit.
4. Nilai sosial yaitu nilai yang berkaitan dengan tata pergaulan antara individu dalam masyarakat.
Contoh:
Sebagian terbesar pengantar sumbangan, pria, wanita, tua, dan muda, menolak disuruh pulang. Mereka bermaksud menyumbangkan tenaga juga. Maka jadilah dapur raksasa pada malam itu juga. Menyusul kemudian datang bondongan gerobak mengantarkan kayu bakar dan minyak-minyakan. Dan api pun menyala dalam berpuluh tungku.
Sumber: Pramoedya Ananta Toer, Mangir, Jakarta, KPG, 2000
Dari kutipan di atas, nilai sosial tampak pada tindakan menyumbang dan kesediaan untuk membantu pelaksanaan pesta perkawinan.
E. Menyusun Novel Sejarah
Langkah-langkah menyusun novel sejarah adalah sebagai berikut.
1. Menentukan peristiwa sejarah yang akan menjadi bahan penceritaan
2. Menyusun kerangka atau gambaran singkat cerita sejarah yang akan ditulis
Dasar penyusunan kerangka novel sejarah dapat berupa perjalanan waktu (misalnya. masa kecil, masa remaja, masa sekolah, masa kuliah, masa dewasa); latar tempat (di desa, di sekolah, di kota, di luar negeri).
Kerangka karangan dapat berisi tokoh, waktu dan tempat kejadian, , ilustrasi visual setiap tokoh, apa yang dipermasalahkan, dan sebagainya.
3. Mengumpulkan bahan-bahan cerita
Pada tahap ini penulis mengumpulkan rangkaian peristiwa dari berbagai rujukan dan sumber (orang, buku, dan sebagainya).
4. Mengembangkan kerangka atau draf awal menjadi novel atau teks cerita sejarah
Pada tahap ini, penulis merangkai cerita berdasarkan daya khayal atau imajinasi. Sudut pandang yang paling mudah adalah sudut pandang orang pertama “ aku”.
Penceritaan teks novel atau cerita sejarah mengikuti gaya teks rekon imajinatif yang didalamnya ada orientasi, pengungkapan peristiwa, cerita mulai memuncak, puncak permasalahan, resolusi, dan koda.
Itulah seputar materi bahasa indonesia mengenai novel sejarah. Novel sejarah ini akan begitu menyenangkan jika kalian membaca dengan menghayati atau menjiwai cerita tersebut. Tentunya bagi kamu yang suka baca novel, akan sangat menyenangkan bahkan hingga berjam-jam dalam membaca novel yang kamu sukai atau idolakan.
Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment